Rabu, 13 Januari 2010

Self-Discipline (Disiplin Diri)

Pada tulisan terdahulu, telah dibahas mengenai definisi disiplin. secara umum disiplin dapat diartikan suatu bentuk ketaatan terhadap peraturan yang berlaku. disiplin dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu disiplin diri dan disiplin kelompok.
Disiplin kelompok akan tercapai jika disiplin diri telah tumbuh dalam diri individu. oleh karena itu, pada pembahasan kali ini akan dititkberatkan pada disiplin diri.
Theodore Bryant mendefinisikan disiplin diri (self-discipline) sebagai suatu kemampuan untuk mengarahkan dan mengatur bagian-bagian kepribadian yang berbeda sehingga setiap aspek psikologis di arahkan bersama ke arah tujuan yang telah ditetapkan secara sadar.


 "Self-discipline is the skill to direct and regulate all the various parts of our personality so that rather than  
   being immobilized by inner conflict, all of our psychological elements are pulling together in the same   
   direction toward your consciously chosen goals."

disiplin diri merupakan suatu proses manajemen diri yang secara sadar bertujuan mengarahkan setiap aspek psikologis ke arah tujuan yang telah ditetapkan. pertanyaan yang relevan untuk diajukan pada konteks ini adalah, ketika dihadapkan pada suatu kesulitan, "bagian mana dari diri saya yang tidak ingin melakukan hal yang saya ingin lakukan?"
dikarenakan kita biasanya didisiplinkan oleh orang lain, melalui disiplin diri, kita lah yang melakukan pendisiplinan terhadap diri kita. disiplin diri dapat dilatih, seperti halnya kita melakukan latihan fisik, atau belajar bermain piano. pada awalnya akan terasa sulit, namun lama-kelamaan skill/kemampuan yang dimiliki akan meningkat seiring dengan bertambahnya intensitas latihan.
dalam hal ini, latihan yang tidak ditambah bebannya, tidak akan memberikan perubahan terhadap kemampuan kita.



disiplini diri membutuhkan diri kita untuk menghadapi kenyataan-kenyataan/rintangan yang ada dibandingkan dengan melarikan diri atau mengindahkannya. dalam kehidupan sehari-hari, kita sering dihadapkan oleh permasalahan atau rintangan tertentu untuk mencapai tujuan. sebagai contoh, seorang siswa yang sebentar lagi menghadapi ujian, kemudian dipaksa untuk belajar lebih giat lagi akan dihadapkan pada perasaan malas, minat yang kurang akan pelajaran, dan lain-lain. rintangan ini biasanya berupa rintangan psikologis.
dan bryant, menitikberatkan pada perasaan takut (fear) sebagai penghalang utama seseorang untuk melakukan disiplin diri.
ketakutan yang mengganggu dan menghalangi seseorang dari disiplin diri adalah:
- Fear of Failure (ketakutan akan kegagalan)
- Fear of Success (ketakutan akan keberhasilan)
- Fear of Rejection (ketakutan akan penolakan)
- Fear of Mediocrity (ketakutan akan keadaan)
- Fear of Risks (ketakutan akan resiko)

pengetahuan akan hal tersebut di atas akan dapat membantu diri untuk meminimalisasi dampak yang ditimbulkannya.
pada tulisan berikut akan dipaparkan mengenai sistem pendisiplinan diri. 


Sumber : Theodore Bryant, Self-Discipline in 10 days: How To Go From Thinking To Doing,
               Seattle, Washington:
Human Understanding and Behavior Publishing.


Disiplin dan Disiplin Kerja

Disiplin diartikan berbeda menurut beberapa pandangan. Di bawah ini akan disajikan beberapa pendapat yang membahas mengenai disiplin.
1. Disiplin diartikan oleh Prijodarminto (1993), sebagai suatu kondisi yang tercipta dan terbentuk melalui proses dari serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan dan atau ketertiban.
Dalam hal ini sikap dan perilaku yang demikian tercipta melalui proses binaan keluarga, pendidikan dan pengalaman atau pengenalan dari keteladanan dari lingkungannya. Disiplin akan membuat seseorang dapat membedakan hal-hal apa saja yang seharusnya dilakukan, yang wajib dilakukan, yang boleh dilakukan dan yang tidak seharusnya dilakukan (karena merupakan hal-hal yang dilarang).
Disiplin ini memiliki tiga aspek, yaitu :
a.Sikap mental (mental attitude), yang merupakan sikap taat dan tertib sebagai hasil atau pengembangan dari latihan, pengendalian pikiran dan pengendalian watak.
b.Pemahaman yang baik mengenai sistem aturan perilaku, norma, kriteria dan standar yang sedemikian rupa, sehingga pemahaman tersebut menumbuhkan pengertian yang mendalam atau kesadaran bahwa ketaatan akan aturan, norma, kriteria dan standar merupakan syarat mutlak untuk mencapai keberhasilan.
c.Sikap kelakuan yang secara wajar menunjukkan kesungguhan hati untuk mentaati segala hal dengan cermat dan tertib.
Perpaduan antara sikap dengan sistem nilai budaya yang menjadi pengarah dan pedoman untuk mewujudkan sikap mental berupa perbuatan dan tingkah laku. Hal inilah yang pada dasarnya disebut dengan disiplin.

2. Gibson, Ivancevich, dan Donelly (1985)13 mendefinisikan disiplin sebagai penggunaan beberapa bentuk hukuman atau sanksi jika karyawan menyimpang. Penggunaan hukuman digunakan apabila manajer dihadapkan pada permasalahan perilaku bawahan yang tidak sesuai dengan peraturan dan prestasi kerja yang di bawah standar perusahaan. Daftar perilaku yang dapat dihukum adalah sebagai berikut:
a. ketidakhadiran,
b. kelambanan,
c. mencuri,
d. tidur ketika bekerja,
e. mengancam pimpinan,
f. melanggar aturan dan kebijaksanaan keselamatan bekerja,
g. pembangkangan perintah,
h. memperlakukan pelanggan secara tidak wajar,
i. memperlambat pekerjaan,
j. menolak bekerjasama dengan rekan kerja,
k. menolak untuk bekerja lembur,
l. memiliki dan menggunakan obat-obat terlarang ketika bekerja,
m. merusak peralatan,
n. menggunakan bahasa/kata-kata kotor, dan
o. melakukan mogok kerja yang ilegal.
Untuk memberlakukan hukuman terhadap pelanggaran disiplin perusahaan, terdapat beberapa syarat pemberlakuan hukuman, yaitu :
a. Penentuan Waktu (Timing). Waktu penerapan hukuman merupakan hal yang penting. Hukuman dapat dilaksanakan setelah timbulnya perilaku yang perlu dihukum, segera atau beberapa waktu kemudian setelah perilaku tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keefektifan hukuman meningkat jika hukuman diberlakukan segera setelah tindakan yang tidak diinginkan dilakukan.
b. Intensitas (Intensity). Hukuman mencapai keefektifan yang lebih besar jika stimulus yang tidak disukai itu relatif kuat. Maksud dari syarat ini ialah bahwa agar efektif, hukuman harus mendapatkan perhatian segera dari orang yang sedang dihukum. Hukuman berintensitas tinggi atau hukuman keras dapat menimbulkan rasa takut tertentudi tempat kerja yang mencegah seseorang melakukan hal yang tidak sesuai dengan aturan perusahaan.
c. Penjadwalan (scheduling). Dampak hukuman tergantung pada jadwal berlakunya hukuman. Hukuman dapat diberlakukan setelah setiap perilaku yang tidak diharapkan terjadi (jadwal berlanjut), waktu berubah atau waktu tetap setelah perilaku yang tidak diharapkan terjadi (jadwal interval variabel atau tetap), atau setelah terjadinya sejumlah respon terhadap jadwal variabel atau tetap (jadwal rasio variabel atau tetap). Konsistensi penerapan setiap jenis jadwal hukuman adalah penting. Agar berjalan dengan efektif, penerapan hukuman secara konsisten diperlukan terhadap setiap karyawan yang melanggar aturan perusahaan.
d. Kejelasan Alasan (Claryfying the Reason). Kesadaran atau pengertian memainkan peranan penting dalam pelaksanaan hukuman. Dengan memberikan alasan yang jelas mengenai mengapa hukuman dikenakan dan pemberitahuan mengenai konsekuensi selanjutnya apabila perilaku yang tidak diharapkan terulang kembali, secara khusus telah terbukti efektif dalam proses pendisiplinan karyawan. Memberikan alasan pada dasarnya memberitahu dengan pasti mengenai hal-hal yang tidak boleh dilakukan kepada orang yang bersangkutan.
e. Tidak Bersifat Pribadi (Impersonal). Hukuman harus diberikan pada respon tertentu, bukan kepada orang atau pola umum perilakunya. Jika hukuman tidak bersifat pribadi (hanya berdasarkan perasaan suka atau tidak suka pemberi hukuman), kecil kemungkinannya bahwa orang yang dihukum mengalami dampak emosional sampingan yang tidak diharapkan atau timbulnya kerenggangan hubungan yang permanen dengan manajer/atasan. Hal ini membutuhkan pengendalian diri yang kuat dan kesabaran dari orang yang menjatuhkan hukuman agar hukuman tidak bersifat pribadi.
3. Hodges (dalam Avin, 1996), mengatakan bahwa disiplin dapat diartikan sebagai sikap seseorang atau kelompok yang berniat untuk mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan. Dalam kaitannya dengan pekerjaan, disiplin kerja adalah suatu sikap dan tingkah laku karyawan terhadap peraturan organisasi.
Niat dapat diartikan sebagai keinginan untuk berbuat sesuatu atau kemauan untuk menyesuaikan diri dengan peraturan. Sikap dan perilaku dalam disiplin kerja ditandai oleh berbagai inisiatif, kemauan dan kehendak untuk menaati peraturan. Artinya, seseorang yang dikatakan memiliki disiplin yang tinggi tidak semata-mata taat dan patuh pada peraturan secara kaku dan mati, namun juga mempunyai kehendak (niat) untuk menyesuaikan diri dengan peraturan organisasi.
Indikator dalam disiplin kerja, adalah sebagai berikut:
a) Disiplin kerja tidak semata-mata patuh dan taat terhadap peraturan mengenai jam kerja saja, misalnya datang dan pulang sesuai dengan jadwal, tidak mangkir ketika bekerja, dan tidak mencuri-curi waktu.
b) Upaya dalam menaati peraturan tidak didasarkan akan adanya perasaan takut atau terpaksa.
c) Komitmen dan loyal terhadap organisasi, yaitu tercermin dari bagaimana sikap dalam bekerja. Apakah karyawan serius atau tidak? Loyal atau tidak? Apakah dalam bekerja karyawan tidak pernah mengeluh, tidak berpura-pura sakit, tidak manja dan bekerja dengan semangat tinggi? Sebaliknya, perilaku yang sering menunjukkan ketidakdisiplinan atau melanggar peraturan terlihat dari tingkat absensi yang tinggi, penyalahgunaan waktu instirahat dan makan siang, meninggalkan pekerjaan tanpa izin, membangkang, tidak jujur, berjudi, berkelahi, berpura-pura sakit, sikap manja yang berlebihan, merokok pada waktu yang terlarang dan perilaku yang menunjukkan semangat kerja rendah.
4. Stuart Emmel (2001)4 mendefinisikan disiplin sebagai suatu sistem aturan untuk mengendalikan perilaku. Fungsi utama disiplin di tempat kerja adalah mendorong karyawan yang belum memuaskan untuk menjadi lebih baik. Titik fokus pada peningkatan berarti bahwa disiplin adalah mengenai mencoba untuk mencapai, dan tidak menggunakan tuduhan/maksud buruk. Hukuman dipergunakan hanya pada saat terakhir, saat cara lain telah gagal. Oleh karena itu, tujuan utama pendisiplinan menurut Emmel adalah untuk meningkatkan, mengkoreksi, mencegah, dan meluruskan kembali tindakan yang tidak sesuai dengan aturan, membawa karyawan agar sesuai dengan standar perusahaan dan mendorong peningkatan dan performa kerja pada tingkat yang lebih tinggi lagi.
Selanjutnya, Stuart Emmel membagi menjadi dua kriteria untuk permasalahan mengenai disiplin, yaitu:
a) Perilaku menyakiti yang menyimpang. Perilaku menyakiti yang menyimpang biasanya akan membuat tindakan disiplin. menyakiti orang lain dapat selalu dikategorikan sebagai masalah yang berhubungan dengan performa kerja maupun masalah hubungan/perilaku. Masalah performa kerja itu meliputi: kehadiran yang buruk dan absensi, hasil kerja yang buruk/ceroboh, dan kegagalan untuk mengikuti aturan, seperti kesehatan dan keselamatan kerja. Masalah hubungan kerja adalah tentang: penolakan untuk taat pada perintah yang logis dan perilaku yang merusak.
b) Perilaku menyimpang yang fatal. Perilaku menyimpang yang fatal akan menyebabkan pemecatan. Kembali, perilaku menyimpang ini dapat dikategorikan baik sebagai masalah performa maupun hubungan. Masalah yang berhubungan dengan performa kerja adalah pengabaian fatal pada aturan yang menyebabkan kehilangan, kerugian pada perusahaan, pengabaian serius akan aturan kesehatan dan keselamatan kerja dan kehancuran yang disengaja terhadap properti perusahaan. Masalah yang terkait dengan hubungan kerja adalah pencurian atau pemalsuan, serangan yang kejam atau perkelahian, perilaku yang merusak reputasi perusahaan, penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang di tempat kerja, dan ketidaktaatan yang fatal pada pimpinan.
Untuk mengatasi permasalahan disiplin, Emmel mengemukakan model tiga langkah. Langkah pertama adalah tahap investigasi yaitu untuk menemukan fakta yang terkait dengan tindakan indisipliner. Pendekatan ini membangun fakta yang objektif. Pertanyaan yang terkait pada tahap ini adalah:
• Apa yang terjadi?
• Kapan terjadi?
• Di mana terjadi?
• Mengapa terjadi?
• Bagaimana terjadi?
• Siapakah yang terlibat?
Langkah kedua adalah tahap memeriksa yang bertujuan untuk mengungkapkan masalah. Setelah membuat fakta-fakta, selanjutnya adalah mengungkapkan masalah dengan:
• Melihat apakah terdapat penyimpangan mengenai fakta yang sebenarnya terjadi.
• Menentukan apakah perilaku tersebut termasuk dalam kategori menyimpang atau perilaku menyimpang yang fatal.
• Menentukan jenis masalah, apakah terkait dengan performa atau hubungan/perilaku.
Langkah ketiga adalah tahap keputusan dimana pemimpin memutuskan tindakan apa yang diperlukan. Setelah fakta terkumpul dan permasalahan telah jelas, tahap selanjutnya adalah tahap pengambilan keputusan/tindakan. Tindakan yang mungkin adalah sebagai berikut:
• Tidak melakukan apa-apa. Tindakan ini akan mengakibatkan permasalahan yang timbul akan membesar dan semakin memburuk, menunjukkan bahwa pemimpin adalah seorang penunda yang tidak pernah mengambil tindakan yang jelas/tegas dan melemahkan semangat kerja yang lain.
• Mengubah keadaan/situasi. Hal ini dapat berjalan dengan baik pada saat pemimpin telah yakin bahwa dengan mengubah keadaan/situasi dapat meningkatkan performa dan hubungan/perilaku di tempat kerja menjadi lebih baik.
• Mengubah orang/karyawan. Langkah yang dapat dilakukan untuk merubah orang/karyawan diantaranya dengan menggunakan pendekatan konseling, mengadakan training (pelatihan), dan menggunakan prosedur disiplin.
5. Singodimedjo (2002, dalam Sutrisno, 2009),5 mendefinisikan disiplin sebagai sikap kesediaan dan kerelaan seseorang untuk mematuhi dan menaati norma-noram peraturan yang berlaku di sekitarnya. Disiplin karyawan yang baik akan mempercepat tujuan perusahaan, sedangkan disiplin yang rendah akan menjadi penghalang dan memperlambat pencapaian tujuan perusahaan.
Dengan adanya tata tertib yang ditetapkan, tidak dengan sendirinya para pegawai akan mematuhinya. Perlu bagi pihak organisasi mengkondisikan karyawannya dengan tata tertib organisasi/perusahaan. Singodimedjo (dalam Sutrisno, 2009),5 menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi disiplin pegawai adalah sebagai berikut:
1. Besar/kecilnya pemberian kompensasi.
Besar atau kecilnya kompensasi dapat mempengaruhi tegaknya disiplin. para karyawan akan mematuhi segala peraturan yang berlaku, bila ia merasa bahwa kerja keras yang dilakukannya akan mendapatkan balas jasa yang setimpal dengan jerih payah yang telah diberikan pada organisasi/perusahaan. Bila ia menerima kompensasi yang memadai, mereka akan dapat bekerja dengan tenang dan tekun, serta selalu berusaha bekerja dengan sebaik-baiknya. Akan tetapi, bila karyawan/pegawai merasa kompensasi yang diterimanya jauh dari memadai, maka usaha kerja yang dilakukan akan terganggu, dan berusaha untuk mencari tambahan penghasilan lain di luar atau di dalam, sehingga menyebabkan ia sering mangkir, sering minta izin ke luar, atau memanfaatkan pekerjaannya sebagai sarana untuk menambah penghasilan. Dengan kata lain, dengan pemberian kompensasi yang mencukupi, sedikit banyak akan membantu pegawai/karyawan untuk bekerja dengan tenang. Karena dengan menerima kompensasi yang wajar, kebutuhan primer mereka akan dapat terpenuhi.
2. Ada/tidaknya keteladanan pemimpin dalam perusahaan.
Keteladanan pemimpin sangat penting sekali, karena dalam suatu organisasi/perusahaan, semua pegawai/karyawan akan memperhatikan bagaimana pemimpin mampu menegakkan disiplin dalam dirinya dan bagaimana ia dapat mengendalikan dirinya dari ucapan, perbuatan dan sikap yang dapat merugikan aturan disiplin yang telah ditetapkan. Bagaimanapun juga, pemimpin merupakan contoh yang akan ditiru oleh bawahannya dalam bersikap. Oleh sebab itu, bila seorang pemimpin menginginkan tegaknya peraturan disiplin dalam perusahaan, maka ia adalah orang pertama yang mempraktekkan agar dapat diikuti oleh karyawan lainnya.
3. Ada/tidaknya aturan pasti yang dapat dijadikan pegangan.
Pembinaan disiplin tidak akan dapat terlaksana dalam organisasi/perusahaan, bila tidak ada peraturan yang tertulis yang pasti untuk dijadikan pegangan bersama. Disiplin tidak mungkin dapat ditegakkan bila peraturan yang dibuat hanya berdasarkan instruksi lisan yang dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi dan situasi. Dengan adanya aturan tertulis yang jelas, para karyawan akan mendapatkan kepastian mengenai pedoman apa saja yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Sehingga akan menghindarkan diri dari perilaku yang tidak sesuai dengan peraturan tersebut.
4. Keberanian pemimpin dalam mengambil tindakan.
Bila ada seorang pegawai yang melanggar disiplin, maka perlu ada keberanian dari pemimpin untuk mengambil tindakan yang sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dibuatnya. Melalui tindakan terhadap perilaku indisipliner, sesuai dengan sanksi yang ada, maka semua karyawan akan merasa terlindungi, dan dalam hatinya berjanji tidak akan berbuat hal yang serupa. Pada situasi demikian, maka semua pegawai akan menghindari sikap yang melanggar aturan yang akhirnya akan menimbulkan kerugian pada organisasi/perusahaan. Demikian pula sebaliknya, apabila pemimpin tidak berani mengambil tindakan, walaupun sudah jelas pelanggaran yang dibuat oleh karyawan, akan berdampak kepada suasana kerja dalam organisasi/perusahaan. Dimana karyawan akan meragukan pentingnya berdisiplin di tempat kerja.
5. Ada/tidaknya pengawasan pimpinan.
Dalam setiap kegiatan yang dilakukan organisasi/perusahaan, perlu adanya pengawasan, yang akan mengarahkan pegawai untuk dapat melaksanakan pekerjaan dengan tepat dan sesuai dengan standar organisasi/perusahaan. Dengan menyadari bahwa sifat dasar manusia adalah selalu ingin bebas, tanpa terikat oleh peraturan, maka pengawasan diperlukan demi tegaknya disiplin dalam suatu organisasi/perusahaan.
6. Ada/tidaknya perhatian kepada para karyawan.
Pegawai adalah manusia yang memiliki perbedaan karakter antara satu dengan yang lain. Sebagai manusia, karyawan tidak hanya membutuhkan penghargaan dengan pemberian kompensasi yang tinggi, tetapi juga membutuhkan perhatian yang besar dari pemimpin. Keluhan dan kesulitan mereka ingin didengar dan dicarikan jalan keluarnya, dan lain sebagainya. Pemimpin yang berhasil memberi perhatian yang besar kepada para karyawan akan dapat menciptakan disiplin kerja yang baik. Karena ia bukan hanya dekat secara fisik, tetapi juga dekat secara batin. Pemimpin yang demikian akan selalu dihormati dan dihargai oleh karyawan, sehingga akan berpengaruh besar terhadap prestasi dan semangat kerja karyawan.
7. Diciptakannya kebiasaan-kebiasaan yang mendukung tegaknya disiplin.
Kebiasaan-kebiasaan positif itu antara lain:
• Saling menghormati bila bertemu di lingkungan kerja.
• Melontarkan pujian sesuai dengan tempat dan waktunya sehingga karyawan akan turut bangga dengan pujian tersebut.
• Sering mengikutsertakan karyawan dalam pertemuan yang berhubungan dengan nasib dan pekerjaan mereka.
• Memberi tahu bila ingin meninggalkan tempat kerja kepada rekan sekerja, dengan menginformasikan kemana dan untuk urusan apa, walaupun kepada bawahan sekalipun.
Powered By Blogger